Raja Keraton Solo PB XIII Wafat, Sosok Pemersatu Konflik Keraton
Liputan Harian – Keraton Solo tengah berduka. Sri Susuhunan Pakubuwono XIII atau PB XIII meninggal dunia pada usia 77 tahun. Kepergian beliau menimbulkan rasa kehilangan mendalam, bukan hanya bagi keluarga besar keraton, tetapi juga bagi masyarakat Solo dan pemerhati budaya Jawa. Sosok PB XIII terkenal sebagai raja yang bijak, sabar, dan berperan besar menyatukan keluarga Kasunanan Surakarta setelah masa konflik panjang.
Sepanjang hidupnya, PB XIII berusaha menjaga keharmonisan dan menjadikan keraton sebagai rumah bersama bagi semua keturunan Mataram. Ia menempatkan nilai persatuan di atas kepentingan pribadi, sehingga masyarakat menghormatinya sebagai simbol kedamaian.
Perjalanan Hidup dan Awal Penobatan
Pakubuwono XIII lahir pada tahun 1948 dengan nama GRM Surya Partana, putra dari Sri Susuhunan Pakubuwono XII. Sejak kecil, ia menunjukkan kepribadian tenang dan berwibawa. Ia tumbuh dengan pendidikan budaya Jawa yang kuat dan semangat melestarikan nilai-nilai leluhur.
Perjalanan menuju takhta tidak mudah. Setelah ayahandanya wafat pada 2004, keluarga keraton mengalami perbedaan pendapat mengenai penerus tahta. Situasi tersebut menimbulkan ketegangan di antara dua kubu utama keluarga besar. PB XIII kemudian mengambil langkah diplomatis. Ia menempuh jalur dialog dan berusaha menenangkan kedua belah pihak agar keraton tetap utuh. Pendekatan bijaknya membuat pemerintah akhirnya mengakui PB XIII sebagai raja sah Kasunanan Surakarta.
Sejak itu, PB XIII menjalankan tanggung jawabnya dengan tenang dan penuh dedikasi. Ia menegaskan bahwa keraton bukan hanya peninggalan sejarah, tetapi juga pusat pendidikan dan budaya bagi masyarakat.
Kepemimpinan yang Menyatukan
PB XIII tidak memerintah dengan kekuasaan, melainkan dengan keteladanan. Saat konflik internal kembali muncul, ia mengundang semua pihak untuk berdialog. Ia menolak kekerasan dan lebih memilih jalan musyawarah. Dengan pendekatan ini, perlahan hubungan antaranggota keluarga membaik.
Raja juga berupaya mengembalikan citra keraton di mata publik. Ia mendorong kegiatan budaya seperti kirab pusaka, upacara Grebeg, dan peringatan Tingalan Dalem agar tetap berjalan setiap tahun. Di bawah kepemimpinannya, masyarakat kembali melihat Keraton Solo sebagai sumber nilai dan warisan luhur.
PB XIII tidak hanya mengatur upacara tradisi, tetapi juga mendorong keterlibatan generasi muda. Ia sering mengundang pelajar dan seniman untuk belajar langsung di lingkungan keraton agar tradisi tetap hidup dan dikenal luas.
Pelestari Budaya Jawa di Era Modern
Sebagai penjaga warisan leluhur, PB XIII selalu mengingatkan pentingnya melestarikan budaya di tengah arus globalisasi. Ia berusaha menyeimbangkan tradisi dan modernitas dengan cara menghidupkan kegiatan budaya melalui media sosial, pameran, dan kolaborasi seni.
Raja juga menekankan pentingnya budi pekerti dan unggah-ungguh dalam kehidupan sehari-hari. Menurutnya, adat Jawa tidak hanya soal simbol dan upacara, tetapi juga sikap hormat, kesederhanaan, dan kejujuran. Ajaran itu ia tanamkan kepada semua keturunannya dan masyarakat yang datang belajar ke keraton.
Berbagai inisiatif budaya seperti pelatihan tari klasik, gamelan, hingga pembacaan serat-serat Jawa kembali aktif. Keraton tidak lagi hanya menjadi tempat wisata sejarah, tetapi juga pusat pembelajaran nilai-nilai budaya.
Persiapan Takhta dan Warisan Kepemimpinan
Sebagai pemimpin yang visioner, PB XIII mempersiapkan pewarisnya jauh sebelum wafat. Ia menunjuk KGPH Purbaya sebagai penerus tahta dalam sebuah upacara resmi. Langkah ini menegaskan kesinambungan kepemimpinan di Keraton Solo.
Dalam pandangannya, pewaris keraton tidak hanya harus menguasai adat, tetapi juga mampu memahami tantangan zaman modern. Ia ingin agar penerusnya tetap menjunjung nilai-nilai leluhur sambil beradaptasi dengan era digital. Pandangan tersebut menunjukkan kebijaksanaan PB XIII dalam menjaga masa depan keraton.
Warisan beliau bukan hanya berupa tahta, tetapi juga prinsip hidup: memimpin dengan hati, menghargai perbedaan, dan menjaga keharmonisan keluarga besar keraton. Nilai-nilai itu kini menjadi dasar bagi generasi penerus.
Sosok yang Dihormati dan Dirindukan
Bagi masyarakat Solo, PB XIII merupakan figur panutan. Ia jarang berbicara keras, tetapi setiap ucapannya penuh makna. Dalam berbagai kesempatan, beliau menegaskan pentingnya menjaga “guyub rukun” atau persatuan tanpa konflik. Sikapnya yang tenang membuat banyak orang menaruh hormat, termasuk tokoh masyarakat dan pejabat pemerintahan.
PB XIII dikenal mudah bergaul dengan siapa pun. Ia menerima tamu dari berbagai kalangan dengan ramah dan terbuka. Pendekatan tersebut membuatnya disegani sebagai raja sekaligus tokoh budaya yang merakyat.
Setelah wafatnya PB XIII, masyarakat Solo merasakan kehilangan yang besar. Warga datang silih berganti ke keraton untuk memberikan doa. Mereka mengenang beliau sebagai raja yang memimpin dengan ketulusan dan menjadi penyejuk di tengah perbedaan.
Duka yang Menguatkan Persatuan
Suasana duka di Keraton Solo justru mempererat hubungan antar keluarga dan masyarakat. Banyak tokoh adat dan pejabat datang memberikan penghormatan terakhir. Mereka sepakat untuk melanjutkan semangat persatuan yang telah diwariskan PB XIII.
Pihak keluarga berjanji menjaga amanah beliau dengan menjaga kelestarian budaya dan memelihara kerukunan internal keraton. Semangat itu menjadi bukti nyata bahwa ajaran PB XIII masih hidup di hati para penerusnya.
Penutup: Warisan Abadi Sang Pemersatu
Pakubuwono XIII meninggalkan warisan besar bagi Keraton Solo dan bangsa Indonesia. Ia menunjukkan bahwa seorang pemimpin sejati tidak mengandalkan kekuasaan, melainkan keteladanan dan cinta pada rakyatnya. Selama memimpin, ia berhasil mengembalikan marwah keraton, menyatukan keluarga besar, serta menjaga nilai-nilai budaya Jawa di tengah tantangan zaman.
Meskipun beliau telah tiada, semangatnya tetap hidup. Generasi muda memiliki tanggung jawab untuk melanjutkan perjuangan PB XIII dalam menjaga budaya dan persaudaraan. Keraton Solo kini berdiri tegak sebagai simbol kebijaksanaan dan warisan luhur yang tak lekang oleh waktu.


